Hardiknas – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini rutin memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan penuh seremoni. Pidato-pidato berkumandang, spanduk warna-warni terpajang, dan jargon-jargon manis tentang pentingnya pendidikan digaungkan di berbagai sudut negeri. Namun di balik gegap gempita perayaan, ada kenyataan pahit yang terus menyelinap—akses terhadap pendidikan yang layak masih menjadi kemewahan bagi banyak anak negeri ini.
Politisi Puan Maharani, dalam momen Hardiknas tahun ini, kembali menggarisbawahi masalah yang selama ini seperti tak kunjung menemukan jawabannya: akses pendidikan yang belum merata. Di balik gedung-gedung sekolah megah di kota besar, masih banyak anak-anak di pelosok yang harus berjalan berkilo-kilometer menyusuri hutan dan menyeberangi sungai demi mengecap bangku sekolah. Sementara itu, fasilitas yang mereka temui—jika ada—seringkali jauh dari kata layak.
Ketimpangan yang Membisu Tapi Nyata
Statistik boleh saja menunjukkan angka partisipasi sekolah yang meningkat, tetapi itu tidak serta merta menggambarkan kualitas yang sesungguhnya. Banyak sekolah di daerah terpencil yang kekurangan guru tetap, sarana belajar yang memprihatinkan, hingga absennya jaringan internet. Sementara di perkotaan, anak-anak bisa belajar dengan teknologi canggih slot777 gacor, mendapatkan bimbingan privat, dan mengakses informasi dari genggaman tangan.
Inilah yang disebut ketimpangan struktural. Negara seolah hadir, tapi tak benar-benar hadir. Bantuan dan program pendidikan memang ada, namun distribusinya seringkali tak adil. Yang sudah punya akses mendapat lebih banyak, sementara yang betul-betul membutuhkan malah terpinggirkan.
Retorika Tak Lagi Cukup
Puan tidak salah ketika menyuarakan keresahan ini. Namun publik juga sudah muak dengan sekadar retorika. Butuh tindakan nyata. Butuh kebijakan yang tidak sekadar numpang lewat dalam pidato, tapi benar-benar menembus sampai ke desa-desa, sampai ke tempat di mana anak-anak belajar dengan papan tulis yang nyaris runtuh dan atap bocor.
Sudah waktunya pemerintah berhenti menutup mata pada realitas pendidikan yang timpang. Tak cukup hanya dengan memperingati Hardiknas, apalagi sekadar membuat konten seremonial. Pendidikan harus jadi prioritas yang konkret—bukan hanya dalam visi dan misi, tapi dalam distribusi anggaran, pelatihan guru, pemerataan fasilitas, dan sistem evaluasi yang adil.
Baca juga: https://dapodikonline.com/
Jika pendidikan adalah hak, mengapa masih terasa seperti hadiah bagi sebagian kecil? Hardiknas seharusnya menjadi refleksi mendalam, bukan sekadar perayaan semu yang meninabobokan nurani.